Jumat, 30 Maret 2012

Kangen Mengaji di Mushola



Dulu waktu saya masih kecil, seusia Putri (ponakan saya), setiap azan Maghrib berkumandang, seta merta anak-anak dengan penuh semangat berhamburan dari tempat bermainnya menuju mushola masing-masing. Ada yang pergi ke mushola Nurul Huda, Mushola Al-Hulaemi, ada juga yang pergi ke masjid desa. Tidak ada satu pun dari mereka yang pulang ke bermain langsung ke rumah dan nonton televisi seperti anak-anak masa kini, selain memang waktu itu di desa saya belum ada televisi . Setibanya di mushola atau masjid anak-anak seusiaku bercampur dengan
orang tua, tetapi tetap sopan tertib walau berdesakan, dan mulai mengambil air wudhu dan memenuhi tempat ibadah yang kecil di sekitar rumah tempat tinggal mereka. Anak-anak seusiaku pun mulai terbiasa melaksanakan shalat berjamaah, khususnya Maghrib dan Isya. Diantara shalat Magrib dan Isya tidak ada yang berani pulang ke rumah sebelum mengaji ke pa kiayi masing-masing. Entah kenapa saat itu kepatuhan begitu melekat pada jiwa anak-anak.
Seperti halnya saya, waktu itu (masih ingat betul) mengaji di mushola yang sangat jauh dari rumah, rumahku berada diujung desa Karangkancana (blok Paseban) sementara tempat mengajiku berada di blok rebo yaitu mushola Nurul Huda. Hal ini terjadi karena memang mushola tersebut kepunyaan  pamanku Kiayi Uci Sanusi (dulu masih dipegang oleh kakeknya paman / Ky. Djubed).
Demikian pula halnya dengan anak-anak yang lain di mushola masing-masing, sambil menunggu waktu Isya, mereka dibimbing oleh seorang ustaz atau kiayi yang biasanya menjadi imam masjid atau mushola tersebut. Mulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga penyempurnaan bacaan. Tergantung pada tingkatan usia dan kemampuan anak-anak, walaupun metode yang digunakan masih sangat sederhana yaitu sorogan (mengaji dengan bergiliran menghadap langsung pengajar) namun antusias anak-anak saat itu patut dibanggakan. Kondisi seperti ini biasanya berlangsung sampai usia kami mencapai 15 tahun, karena setelah itu, ada diantara anak-anak yang sudah remaja mulai bekerja membantu orang tuanya, ada yang ikut berjualan ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
Namun yang patut diteladani dan juga menjadi suatu bahan kajian untuk kondisi saat ini adalah, kenapa saat itu anak-anak begitu patuh dan antusias melaksanakan shalat berjamaah dan belajar mengaji, padahal kiayi saat itu seperti yang saya rasakan bisa dibilang galak, dalam arti jika ada kesalahan dalam melafalkan huruf tidak segan-segan memberikan hukuman, sangat berbeda dengan kondisi saat ini, tidak sedikit seorang guru ngaji memberikan hadiah dan berbagai bentuk motivasi agar anak-anak rajin pergi ke mushola, tetapi justru semakin sedikit diantra mereka yang enggan melaksanakannya. Oke… ini mungkin sebuah pergeseran nilai, waktu dan kondisi,, tetapi yang jelas pasti ada alasannya.
Pada waktu dulu, biasanya untuk memenuhi kebutuhan berislam secara baik, anak-anak pun belajar di masjid atau mushola di sekitar rumahnya dengan guru mengaji seorang ustaz atau ajengan kecil. Begitu beranjak dewasa, mereka sudah terbiasa menjalankan kewajiban rukun Islam, seperti shalat dan puasa. Ini adalah Sebuah pembiasaan yang sangat efektif. Bahkan, diharapkan ketika mereka beranjak dewasa akan siap menjadi imam shalat di masjid, jika sewaktu-waktu diperlukan. Bacaan Alqurannya fasih meski tidak sebagus para qari-qariah. Mereka juga menguasai syarat-rukun dan kaifiyat (tata cara) beribadah lengkap dengan bacaan doa-doanya.
Sunggung sebuah pemandangan yang sangat menyejukkan hati, seolah tiada hari tanpa alunan ayat-ayat suci al-Qur’an. Jika malam tiba, walau dengan penerangan yang sangat sederhana menggunakan lampu cempur dari minyak tanah (kerena saat itu belum ada Listrik Masuk Desa), akan terdengan suara yang patah-patah seorang anak usia dini sedang menghafal bacaan Al-Qur’an di rumahnya. Bukan saja itu, karena anak-anak dapat belajar membaca Alquran, tapi juga karena mereka otomatis terhindar dari berbagai aktivitas yang merugikan. Mereka terbimbing dalam pergaulan, sekaligus terbentuk dalam suasana sosial yang sehat dan agamis.
Sayangnya, pemandangan itu kini sudah semakin langka ditemukan. Ceritanya sudah berubah. Bukan lagi mengalir menuju masjid, tapi ketika sore hari menjelang malam justru menjauh dari masjid dan terkonsentrasi di depan televisi. Ustaz dan guru mengaji semakin kehilangan anak-anak mengaji. Wajar jika jumlah buta huruf Alquran semakin semakin hari semakin membengkak bahkan dari tahun tahun ke tahun semakin tak terhitung jumlahnya. Kemampuan membaca Alquran dan kebiasaan beribadah pun semakin menurun.
Subhanallah,, kenangan kecil dengan segala suka dukanya, namun tetap meninggalkan kesan yang indah. Semuanya masih tersimpan di memori otakku sampai saat ini. Kebersamaan dan kerukunan di masa kecil dalam mengikuti berbagai Kegiatan keagamaan di masjid dan mushola tidak akan pernah terlupakan. Tetapi ketika melihat kondisi saat ini, sungguh sangat memprihatinkan. Suatu ketika saya ikut shalat berjamaah di Mushola tempatku mengaji dulu waktu kecil (pada waktu silaturrahim) ke mushola Nurul Huda, tidak lagi terlihat kerumunan anak yang melingkari pa kiayi, tidak lagi terdengar lantunan sholawat seperti dulu, yang ada pemandangan yang sangat menyedihkan, mushola diisi sebagian kecil saja anak-anak seusia SD, bahkan yang saya lihat ketika pulang dari mushola, anak-anak berkerumun di depan rumahnya masing-masing sambil bersenda gurau dan ada sebagian lagi yang dengan asiknya bersila di depan televisi. Lalu salah siapakah ini? Tidak ada yang perlu disalahkan, tetapi yang penting marilah kita mulai dari diri orang tua masing-masing, ajaklah anak-anak kita pergi ke Mushola.
Tetapi ini bukanlah Sebuah penelitian yang menggunakan rumus survey yang valid, tetapi setidaknya dapat dijadikan tolok ukur bagi kita saat ini. Tentu ada diantaranya anak yang dimungkinkan mengikuti kegiatan belajar Alquran di luar lembaga, seperti TPA, MD, dan RA, atau Pengajian yang diselenggarakan oleh individu, seperti di rumah dengan memanggil ustaz sendiri. Namun, jumlahnya diduga kuat tidak signifikan. Dalam bingkai potret masyarakat seperti inilah, upaya memelihara kembali tradisi mengaji akan menjadi tetesan air di tengah dahaga semakin meningkatnya angka buta huruf Alquran. Akankah kerinduan suasana seperti dulu dapat diwujudkan… Jawabannya ada pada kita semua…
Wallahu’alam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar